Bagai Magnet, Inilah Alasan Suara Nahdhiyyin Menjadi Incaran Parpol

Bendera NU dan bendera merah putih dibawa anggota Fatayat NU saat mengikuti Karnaval Nusantara dalam rangka Satu abad Nahdlatul Ulama (NU) di Alun-alun Sidoarjo, Jawa Timur

Kontributor: Rahmat Irza | Editor : An-Nisamie

Nahdhatul Ulama (NU) yang berusia satu abad pada 16 Rajab 1444 H merupakan organisasi kemasyarakatan (ormas) Islam terbesar di Indonesia. Dengan anggota sekitar 150 juta orang, sekitar 59,2 persen dari total penduduk Muslim Indonesia, tidak mengherankan jika NU selalu diincar oleh partai-partai politik. Apalagi, tak sedikit kader NU yang terjun ke politik praktis, baik di legislatif maupun eksekutif.

Sejarah juga mencatat, sejak Indonesia merdeka, pada Muktamar Palembang 1952, NU memutuskan mendirikan partai bernama Partai NU. Sempat memutuskan kembali ke Khitah 1926 setelah Partai NU dilebur Orde Baru menjadi PPP, NU kembali memasuki politik praktis di awal reformasi. Para ulama NU bersepakat mendirikan PKB. Semenjak itu, PKB menjadi saluran politik sebagian warga nahdliyin dan selalu identik dengan NU.

Meski kembali menegaskan tidak berpolitik praktis, NU tetap menjadi magnet bagi parpol. Jumlah anggota yang sangat banyak menjadikan pemilih NU sebagai ceruk suara potensial. Terlebih saat ini tidak ada parpol resmi yang ditunjuk sebagai saluran politik warga nahdiyin.

Ilman Nafi’a dalam buku berjudul Dinamika Relasi Nahdlatul Ulama dan Negara mengungkapkan alasan KH Abdurrahman Wahid, Ketua Umum PBNU kala itu. Gus Dur menyampaikan bahwa warga NU saat ini ”seolah-olah sakit” jika tidak berpolitik. Mereka perlu diwadahi agar tidak gentayangan. Maka dari itu PBNU memberikan peluang kepada mereka untuk berpolitik dalam wadah PKB.

Namun, lagi-lagi, menjelang usia satu abad, NU menyatakan komitmen kembali ke Khitah 1926. Ketua Umum PBNU KH Yahya Cholil Staquf menegaskan, NU tidak boleh menjadi pihak yang berkompetisi. Namun, nahdliyin tetap bisa maju dalam kontestasi politik, tetapi tidak atas nama NU.

Magnet politik

PAN yang identik dengan Muhammadiyah juga berupaya mendekati nahdliyin. Sekjen PAN Eddy Soeparno mengatakan, untuk meningkatkan dukungan nahdliyin, PAN terus membangun jembatan komunikasi dengan warga NU. Salah satunya dengan bersilaturahmi ke pesantren di basis-basis massa NU, seperti Jatim.

Peneliti pada Pusat Riset Politik Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Wasisto Raharjo Jati mengungkapkan, arahan kembali ke Khitah 1926 membuat nahdliyin menjadi pemilih terbuka, tidak terikat secara ideologis ke salah satu partai. Karena itu, perlu pendekatan berbeda kepada para nahdliyin karena preferensi mereka berbeda. Ada yang mengandalkan preferensi kiai, sayap organisasi NU, dan ada pula nahdliyin yang terikat secara kultural dengan pesantren.

Post a Comment for "Bagai Magnet, Inilah Alasan Suara Nahdhiyyin Menjadi Incaran Parpol"